29 Agustus 2008

Benarkah Upah Selama Proses Hanya Bisa dituntut di PHI?

Penasehat hukum terdakwa bersikukuh bahwa upaya menuntut upah selama proses hanya bisa dituntut di PHI, tidak melalui proses pidana. Sementara PHI tidak pernah mengabulkan putusan sela tentang upah selama proses itu.

Persidangan perkara pidana ketenagakerjaan dengan terdakwa Acep Saepudin, Direktur HRD Hotel Sultan, mendekati babak akhir. Dalam sidang lanjutan yang digelar pada Rabu (13/8) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, penasehat hukum terdakwa membacakan duplik atas replik jaksa penuntut umum (JPU).

Sebelumnya, di dalam persidangan JPU telah menuntut terdakwa dengan hukuman selama satu tahun penjara dengan perintah segera ditahan. Selain itu, terdakwa juga dituntut dengan hukuman denda sebesar Rp10 juta subsidair tiga bulan kurungan. JPU menjatuhkan tuntutan setelah menilai Acep terbukti melanggar pasal 186 Jo. pasal 93 ayat (2) huruf f UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pasal 93 ayat (2) huruf f UU Ketenagakerjaan mengatur mengenai kewajiban pengusaha untuk tetap membayarkan upah kepada pekerja yang tidak bekerja karena dihalangi pengusaha. Sementara Pasal 186 UU Ketenagakerjaan menjelaskan mengenai ancaman sanksi yang dapat dikenakan atas pelanggaran pasal 93 ayat (2) huruf f.

Perkara ini bermula ketika pada Desember 2006, Acep Saefudin menjatuhkan sanksi skorsing kepada Jhonson Simanjuntak, Valentino Pasaribu, Rupi Parman dan Yoyo Haryono. Skorsing dijatuhkan lantaran keempat pegawai itu dianggap meresahkan suasana kerja perusahaan.

Awalnya, sejak skorsing itu dijatuhkan perusahaan tidak membayarkan upah sebagaimana biasanya. Namun ketika Jhonson dkk melaporkan manajemen ke Polda Metro Jaya, barulah perusahaan membayarkan upah. Perusahaan berdalih tidak berniat untuk tidak membayarkan upah. Melainkan hanya memblokir upah untuk sementara waktu.

JPU tidak menerima alasan perusahaan terkait dengan pemblokiran upah itu. JPU lebih berpedoman pada pendapat Reytman Aruan, ahli yang dihadirkan JPU ke persidangan. Saat itu Reytman berpendapat bahwa apapun bentuk pelarangan pengusaha terhadap pekerja untuk bekerja, pengusaha tetap berkewajiban membayarkan upah. “Apapun bentuknya. Mau itu dirumahkan, diskorsing, didiamkan atau apapun, sepanjang pengusaha yang menghalang-halangi pekerja untuk bekerja dan belum ada putusan PHI, upah harus tetap dibayarkan,” terang Reytman kala itu.

Atas tuntutan JPU itu, penasehat hukum terdakwa membantahnya di dalam nota pembelaan (pleidoi). Terhadap pleidoi, JPU mengajukan tanggapan (replik). Penasehat hukum terdakwa kemudian membalasnya dengan mengajukan duplik.

Salah Kaprah

Di dalam berkas dupliknya, penasehat hukum terdakwa bersikeras bahwa JPU keliru menarik kesimpulan yang tertuang dalam berkas tuntutan dan repliknya. Menurut penasehat hukum, JPU terkesan memaksakan perkara ini.

“JPU masih tidak bisa membedakan antara Pasal 93 Ayat (2) huruf f dengan Pasal 155 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan,” ucap Syahril Moehammad, salah seorang penasehat hukum kepada hukumonline di luar persidangan.

Menurut Syahril, ketentuan pasal 155 ayat (3) dilatarbelakangi atas adanya sanksi skorsing kepada pekerja dalam rangka proses PHK. Sementara Pasal 93 Ayat (2) huruf f UU Ketenagakerjaan terjadi pada hubungan antara pekerja dan pengusaha dalam situasi normal.

Dijelaskan dalam Pasal 155 UU Ketenagakerjaan bahwa :

(2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.

(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.



“Dalam perkara ini jelas, terdakwa menjatuhkan skorsing kepada empat pekerja itu. Mengenai tidak dibayarkannya gaji, terdakwa sebenarnya tidak berniat untuk melakukannya. Saat itu hanya dilakukan pemblokiran gaji untuk sementara waktu. Maksudnya supaya para pekerja itu bisa datang menghadap,” tutur Bintang Utoro, penasehat hukum yang lain.

Lebih jauh Bintang menyatakan, berdasarkan keterangan I Wayan Nedeng, saksi ahli a de charge (meringankan), berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, pekerja hanya bisa menuntut denda secara perdata atas keterlamabatan pembayaran gaji.


Cuma Lewat PHI?

Pada bagian lain, Syahril menegaskan bahwa sikap yang diambil para pekerja dengan melaporkan Acep Saefudin ke Kepolisian adalah pilihan sikap yang tak berdasar. “Sesuai dengan pasal 155 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, seharusnya para pekerja itu menuntut ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), bukan pidana.”

Sekedar catatan, menuntut upah selama proses melalui PHI tidak semudah membalikkan telapak tangan. PHI, setidaknya di Jakarta, belum pernah menjatuhkan putusan sela yang memerintahkan pengusaha untuk membayarkan upah selama proses.

“Sejauh ini PHI Jakarta belum pernah pernah membuat putusan sela tentang upah selama proses itu. Karena menurut kami, ketentuan undang-undang mengenai putusan sela itu agak sulit diterapkan dalam praktek. Hakim harus berhati-hati untuk memutuskannya. Sehingga biasanya hakim lebih sering menggabungkan tuntutan upah selama proses ini dengan pokok perkara,” ujar Heru Pramono, salah seorang hakim PHI Jakarta yang merangkap sebagai humas PN Jakarta Pusat itu.

Ketika pekerja dihadapkan pada realitas dimana PHI tidak cukup efektif untuk menagih upah selama proses, maka mau tidak mau harus dicari strategi yang lain. Salah satunya mungkin dengan lebih mengedepankan ketentuan pidana ketenagakerjaan untuk menimbulkan efek jera kepada pengusaha 'nakal'.

Tidak ada komentar: