29 Agustus 2008

Benarkah Upah Selama Proses Hanya Bisa dituntut di PHI?

Penasehat hukum terdakwa bersikukuh bahwa upaya menuntut upah selama proses hanya bisa dituntut di PHI, tidak melalui proses pidana. Sementara PHI tidak pernah mengabulkan putusan sela tentang upah selama proses itu.

Persidangan perkara pidana ketenagakerjaan dengan terdakwa Acep Saepudin, Direktur HRD Hotel Sultan, mendekati babak akhir. Dalam sidang lanjutan yang digelar pada Rabu (13/8) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, penasehat hukum terdakwa membacakan duplik atas replik jaksa penuntut umum (JPU).

Sebelumnya, di dalam persidangan JPU telah menuntut terdakwa dengan hukuman selama satu tahun penjara dengan perintah segera ditahan. Selain itu, terdakwa juga dituntut dengan hukuman denda sebesar Rp10 juta subsidair tiga bulan kurungan. JPU menjatuhkan tuntutan setelah menilai Acep terbukti melanggar pasal 186 Jo. pasal 93 ayat (2) huruf f UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pasal 93 ayat (2) huruf f UU Ketenagakerjaan mengatur mengenai kewajiban pengusaha untuk tetap membayarkan upah kepada pekerja yang tidak bekerja karena dihalangi pengusaha. Sementara Pasal 186 UU Ketenagakerjaan menjelaskan mengenai ancaman sanksi yang dapat dikenakan atas pelanggaran pasal 93 ayat (2) huruf f.

Perkara ini bermula ketika pada Desember 2006, Acep Saefudin menjatuhkan sanksi skorsing kepada Jhonson Simanjuntak, Valentino Pasaribu, Rupi Parman dan Yoyo Haryono. Skorsing dijatuhkan lantaran keempat pegawai itu dianggap meresahkan suasana kerja perusahaan.

Awalnya, sejak skorsing itu dijatuhkan perusahaan tidak membayarkan upah sebagaimana biasanya. Namun ketika Jhonson dkk melaporkan manajemen ke Polda Metro Jaya, barulah perusahaan membayarkan upah. Perusahaan berdalih tidak berniat untuk tidak membayarkan upah. Melainkan hanya memblokir upah untuk sementara waktu.

JPU tidak menerima alasan perusahaan terkait dengan pemblokiran upah itu. JPU lebih berpedoman pada pendapat Reytman Aruan, ahli yang dihadirkan JPU ke persidangan. Saat itu Reytman berpendapat bahwa apapun bentuk pelarangan pengusaha terhadap pekerja untuk bekerja, pengusaha tetap berkewajiban membayarkan upah. “Apapun bentuknya. Mau itu dirumahkan, diskorsing, didiamkan atau apapun, sepanjang pengusaha yang menghalang-halangi pekerja untuk bekerja dan belum ada putusan PHI, upah harus tetap dibayarkan,” terang Reytman kala itu.

Atas tuntutan JPU itu, penasehat hukum terdakwa membantahnya di dalam nota pembelaan (pleidoi). Terhadap pleidoi, JPU mengajukan tanggapan (replik). Penasehat hukum terdakwa kemudian membalasnya dengan mengajukan duplik.

Salah Kaprah

Di dalam berkas dupliknya, penasehat hukum terdakwa bersikeras bahwa JPU keliru menarik kesimpulan yang tertuang dalam berkas tuntutan dan repliknya. Menurut penasehat hukum, JPU terkesan memaksakan perkara ini.

“JPU masih tidak bisa membedakan antara Pasal 93 Ayat (2) huruf f dengan Pasal 155 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan,” ucap Syahril Moehammad, salah seorang penasehat hukum kepada hukumonline di luar persidangan.

Menurut Syahril, ketentuan pasal 155 ayat (3) dilatarbelakangi atas adanya sanksi skorsing kepada pekerja dalam rangka proses PHK. Sementara Pasal 93 Ayat (2) huruf f UU Ketenagakerjaan terjadi pada hubungan antara pekerja dan pengusaha dalam situasi normal.

Dijelaskan dalam Pasal 155 UU Ketenagakerjaan bahwa :

(2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.

(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.



“Dalam perkara ini jelas, terdakwa menjatuhkan skorsing kepada empat pekerja itu. Mengenai tidak dibayarkannya gaji, terdakwa sebenarnya tidak berniat untuk melakukannya. Saat itu hanya dilakukan pemblokiran gaji untuk sementara waktu. Maksudnya supaya para pekerja itu bisa datang menghadap,” tutur Bintang Utoro, penasehat hukum yang lain.

Lebih jauh Bintang menyatakan, berdasarkan keterangan I Wayan Nedeng, saksi ahli a de charge (meringankan), berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, pekerja hanya bisa menuntut denda secara perdata atas keterlamabatan pembayaran gaji.


Cuma Lewat PHI?

Pada bagian lain, Syahril menegaskan bahwa sikap yang diambil para pekerja dengan melaporkan Acep Saefudin ke Kepolisian adalah pilihan sikap yang tak berdasar. “Sesuai dengan pasal 155 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, seharusnya para pekerja itu menuntut ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), bukan pidana.”

Sekedar catatan, menuntut upah selama proses melalui PHI tidak semudah membalikkan telapak tangan. PHI, setidaknya di Jakarta, belum pernah menjatuhkan putusan sela yang memerintahkan pengusaha untuk membayarkan upah selama proses.

“Sejauh ini PHI Jakarta belum pernah pernah membuat putusan sela tentang upah selama proses itu. Karena menurut kami, ketentuan undang-undang mengenai putusan sela itu agak sulit diterapkan dalam praktek. Hakim harus berhati-hati untuk memutuskannya. Sehingga biasanya hakim lebih sering menggabungkan tuntutan upah selama proses ini dengan pokok perkara,” ujar Heru Pramono, salah seorang hakim PHI Jakarta yang merangkap sebagai humas PN Jakarta Pusat itu.

Ketika pekerja dihadapkan pada realitas dimana PHI tidak cukup efektif untuk menagih upah selama proses, maka mau tidak mau harus dicari strategi yang lain. Salah satunya mungkin dengan lebih mengedepankan ketentuan pidana ketenagakerjaan untuk menimbulkan efek jera kepada pengusaha 'nakal'.

Lembur Kerja : Masalah ‘Kecil’ Tetapi Bisa Menjadi Besar

Satu masalah “kecil” yang kerap menjadi bibit perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan penghitungan waktu dan upah kerja lembur antara buruh dan pengusaha.

Satu contoh kasus yang pernah terekam berita hukumonline adalah kasus perselisihan antara Serikat Pekerja Mandiri Indomarco (SPMI) dengan pihak manajemen PT Indomarco Prismatama (Indomarco). Januari 2007, kedua pihak beradu argumen di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) gara-gara pekerja yang bernaung di bawah SPMI menolak bekerja di hari libur resmi. Pekerja berdalih aturan kerja pada hari libur tidak jelas. Sementara, pengusaha berdalih kerja pada hari libur tidak masuh hitungan lembur, tetapi kerja shift. Akhirnya, majelis hakim PHI memenangkan SPMI.

Waktu dan upah lembur sejatinya adalah ketentuan normatif, karena sudah diatur dalam Pasal 78 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Turunan dari pasal itu terbitlah Kepmenakertrans No. 102 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur (Kepmen 102). Selain itu ada juga Kepmenakertrans No. 233 tahun 2003 tentang Jenis dan Sifat Pekerjaan yang Dijalankan Secara Terus-Menerus, yang masih memiliki keterkaitan dengan masalah upah lembur. 

Pada prinsipnya, kerja lembur harus dilakukan berdasarkan perintah tertulis pengusaha dan persetujuan tertulis dari pekerja. Atas kerja lembur itu, pekerja berhak atas upah lembur yang sejamnya, berdasarkan Kepmen 102, sebesar 1/173 dikali upah sebulan. Namun jika perusahaan memberlakukan upah lembur yang lebih menguntungkan buruh, maka aturan Kepmen 102 itu tidak berlaku.

Secara umum, ada dua jenis kerja lembur. Pertama, kerja lembur dimana buruh bekerja melebihi jam kerja yang harus dijalankan tiap hari kerjanya. Atau kedua, kerja lembur pada hari yang telah ditetapkankan sebagai hari libur.

Cara Penghitungan Upah Lembur

Berdasarkan Pasal 11 Kepmen 102 :

1) Apabila kerja lembur dilakukan pada hari kerja :
a. untuk jam kerja lembur pertama harus dibayar upah sebesar 1,5 (satu setengah) kali upah sejam; 
b. untuk setiap jam kerja lembur berikutnya harus dibayar upah sebesar 2(dua) kali upah sejam. 

2) Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 6 (enam) hari kerja 40 (empat puluh) jam seminggu maka:
a. perhitungan upah kerja lembur untuk 7 (tujuh) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, dan jam kedelapan dibayar 3 (tiga) kali upah sejam dan jam lembur kesembilan dan kesepuluh dibayar 4 (empat) kali upah sejam.
b. apabila hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek perhitungan upah lembur 5 (lima) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam keenam 3(tiga) kali upah sejam dan jam lembur ketujuh dan kedelapan 4 (empat) kali upah sejam. 

3) Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 5 (lima) hari kerja dan 40 (empat puluh) jam seminggu, maka perhitungan upah kerja lembur untuk 8 (delapan) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam kesembilan dibayar 3(tiga) kali upah sejam dan jam kesepuluh dan kesebelas 4 (empat) kali upah sejam.

Maraknya, perselisihan hubungan industrial terkait kerja lembur seolah-olah menunjukkan bahwa ada ketidakberesan. Mungkin pada tataran normatif atau justru implementasinya. Berangkat dari kondisi ini, hukumonline berencana membuat tulisan berseri yang membahas secara mendalam seputar pengaturan dan praktek upah kerja lembur. Pembahasan akan difokuskan pada empat sektor profesi: jurnalis, advokat, LSM, dan pegawai negeri sipil. Profesi-profesi itu dipilih karena masing-masing memiliki karakteristik khusus yang menjadikan pembahasan akan semakin menarik. 
 
PNS ‘beruntung’

Jurnalis, misalnya, terlepas dari perdebatan apa “jenis kelamin”-nya, sudah sepatutnya tunduk pada peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Konsekuensinya, perusahaan media juga harus memberlakukan waktu kerja kepada wartawan sesuai UU, yaitu 40 jam seminggu. 

Hakim PHI Saut pernah berujar, “Jam kerja wartawan (jurnalis) mulai dihitung ketika di lapangan. Terlepas dapat atau tidak bahan beritanya, tapi ketika wartawan sudah menunggu dari pagi, itu harus tetap dihitung telah menjalankan kerjanya. Jadi salah kalau ada anggapan wartawan harus stand by 24 jam alias tidak terbatas jam kerjanya.” Oleh karenanya, Saut berpendapat jurnalis berhak atas upah lembur jika bekerja lebih dari jam kerja seperti yang diatur dalam undang-undang.

Profesi advokat kurang lebih juga sama. Profesi ini dikenal bekerja dengan waktu yang tidak terbatas. Seperti halnya jurnalis, tuntutan kerjaan seringkali “menahan” kepulangan seorang advokat. Prakteknya, tidak semua kantor hukum memberikan upah lembur kepada advokatnya yang bekerja diluar jam kerja normal.

Kalangan LSM lebih kompleks. Sebagian kalangan memandang bekerja LSM lebih condong pada pengabdian dibandingkan para pekerja “kantoran”. Imbasnya, jika orang bekerja LSM hingga larut malam dianggap lumrah sehingga tidak mendapat upah lembur. Baru-baru ini, PHI menyidangkan kasus perselisihan hubungan industrial di tubuh Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia.

Dari sekian profesi, PNS mungkin yang paling “beruntung”. Kesejahteraan mereka diperhatikan oleh negara. Buktinya, belum lama ini telah terbit Peraturan Menteri Keuangan No. 64/PMK.02/2008 tentang Standar Biaya Umum Tahun Anggaran 2009. Peraturan ini menaikkan besaran uang lembur dan uang makan lembur.

Menanti Ditegakkannya Sanksi Pidana Ketenagakerjaan

Kalangan buruh menilai sanksi pidana hanya dikenakan kepada buruh. Sementara, pengusaha kerap lolos dari jeratan sanksi pidana ketenagakerjaan. Akibat ketidakmampuan atau ketidakmauan penegak hukum menerapkan pidana ketenagakerjaan?

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pertengahan April 2008. Di salah satu ruang sidang, sedang digelar persidangan perkara pidana. Di hadapan majelis hakim duduk seseorang yang menjadi “obyek” di persidangan kala itu. Ia diapit oleh penuntut umum di sebelah kiri dan penasehat hukum di sebelah kanan.

“Apakah setiap perkara perburuhan harus diselesaikan terlebih dulu lewat mekanisme P4D/P4P? (Panitia Penyelesaian Perkara Perburuhan Daerah/Pusat, red) atau bisa langsung diproses secara pidana?” tanya seorang jaksa penuntut umum kepada “obyek” persidangan itu. 

Sebelum pertanyaan itu dijawab, majelis hakim menyela pembicaraan jaksa. “Begini Bu Jaksa, setelah lahirnya UU Ketenagakerjaan dan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, eksistensi P4D/P4P itu digantikan oleh Pengadilan Hubungan Industrial,” kata ketua majelis hakim. Mendengar penjelasan itu, si ibu jaksa tadi hanya tersenyum kecil sambil meralat pertanyaannya. 

Cuplikan peristiwa di atas bukan rekayasa. Hal itu benar-benar terjadi. Bisa jadi si ibu jaksa tadi tidak sendiri. Bisa jadi juga masih banyak aparat penegak hukum lain yang belum meng-update pengetahuannya mengenai hukum perburuhan. 

Kondisi dimana aparat penegak hukum belum beradaptasi dengan isu dan ketentuan hukum perburuhan terkini, di satu sisi dapat membahayakan perlindungan terhadap buruh. Bagaimana tidak. Pasalnya, di saat bersamaan, hampir sebagian besar kalangan buruh tidak lagi percaya terhadap eksistensi Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sebagai lembaga penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan pengusaha. 

Kiagus Ahmad, pengacara publik LBH Jakarta -yang akrab disapa Aben- sempat melontarkan kritikannya terhadap mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004. Menurutnya, keberadaan UU PPHI itu malah menggeser rezim hukum perburuhan dari hukum publik ke hukum privat. Ketika buruh dan pengusaha sedang “asyik” berselisih di PHI, pemerintah malah menjadi penonton.

Padahal filosofis Hukum Perburuhan, kata pengajar Hukum Perburuhan Universitas Indonesia Widodo Suryandono, intervensi negara dalam kerangka perlindungan terhadap buruh mutlak dibutuhkan. 

Berangkat dari pemahaman bahwa negara dalam hal ini pemerintah harus melindungi hak-hak buruh dan kondisi dimana PHI acap kali menjadi kuburan keadilan bagi buruh, Aben berharap agar buruh mencari alternatif solusi lain dalam memecahkan masalah ketenegakerjaan. Salah satunya adalah dengan lebih mengefektifkan penegakan ketentuan pidana ketenagakerjaan.

Salah satu contoh upaya mengefektifkan sanksi pidana ketenagakerjaan, ditunjukkan LBH Jakarta dengan melaporkan Direktur HRD Hotel Sultan yang tidak membayarkan upah kepada pekerjanya yang diskorsing. Tak lama setelah dilaporkan ke kepolisian, upah para pekerja akhirnya dicairkan. Meski begitu, proses pidana terhadap Direktur itu masih berjalan hingga saat ini.
 
Ranjau sanksi pidana

Ucapan Aben untuk mengefektifkan ketentuan pidana ketenagakerjaan bukannya tanpa dasar. Di dalam paket hukum perburuhan, yaitu UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, UU ketenagakerjaan dan UU PPHI, tersebar banyak ranjau sanksi pidana bagi pengusaha yang melanggarnya.

Sahat Sinurat, Biro Hukum Depnakertrans membedah anatomi paket hukum perburuhan ke dalam dua kaidah. “Kalau dibedah, ada dua kaidah. Pertama, kaidah yang sifatnya memaksa. Kedua, yang sifatnya mengatur,” ujar Sahat ketika ditemui di kantornya, Senin (4/8). Contoh kaidah mengatur (aanvullen recht) dalam UU Ketenagakerjaan adalah ketentuan tentang persyaratan suatu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). “Kalau persyaratan itu tidak dipenuhi, hukum atau undang-undang sudah memberikan 'sanksinya', yaitu berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).”

Sementara kaidah yang memaksa (dwingen recht), lanjut Sahat, digunakan untuk memaksa subjek hukum yang disebut dalam pasal itu untuk melakukan sesuatu hal. “Kalau tidak dilaksanakan, ada ancaman sanksi yang bisa dikenakan. Baik itu sanksi denda atau pidana,” cetusnya. Ketentuan pidana yang tersebar dalam paket UU Perburuhan dapat diklasifikasikan ke dalam kejahatan dan pelanggaran. Selain itu, ketentuan pidana juga terdapat di UU Jamsostek dan UU Keselamatan Kerja.

 
Tindak Pidana di Bidang Ketenagakerjaan

Dikategorikan sebagai kejahatan: 

Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) (larangan pekerja asing tanpa ijin dan perorangan yang mempekerjakan pekerja asing); 

Pasal 68 (larangan mempekerjakan anak);

Pasal 69 ayat (2) (mempekerjakan anak tanpa ijin orang tuanya); 

Pasal 74 UUK (larangan mempekerjakan anak-anak pada pekerjaan terburuk); 

Pasal 80 (jaminan kesempatan beribadah yang cukup); 

Pasal 82 (cuti karena melahirkan dan keguguran); 

Pasal 90 ayat (1) (pembayaran upah di bawah Upah Minimum); 

Pasal 143 (menghalang-halangi kebebasan buruh utk berserikat); 

Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7) (mempekerjakan buruh yang tidak bersalah dalam 6 bulan sebelum perkara pidana diadili dan kewajiban pengusaha membayar uang penghargaan masa kerja bagi buruh yang diphk karena diadili dalam perkara pidana); 

Pasal 167 ayat (5) UUK (buruh yang diphk karena pensiun tetapi pengusaha tidak mau membayar pesangonnya 2 x ketentuan Pasal 156 UUK; 

Tindak pidana kejahatan atas pelanggaran Pasal 43 UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh mengenai larangan menghalang-halangi buruh membentuk, menjadi pengurus atau anggota dan menjalankan serikat pekerja.  

Dikategorikan sebagai pelanggaran:

Pasal 14 ayat (2) UUK (perijinan bagi lembaga pelatihan kerja swasta); 

Pasal 35 ayat (2) UUK (kewajiban pelaksana penempatan tenaga kerja memberi perlindungan sejak rekruitment sampai penempatan tenaga kerja); 

Pasal 35 ayat (3) UUK (perlindungan oleh pemberi kerja atas kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan mental dan fisik); 

Pasal 37 ayat (2) UUK (lembaga penempatan tenaga kerja tanpa ijin tertulis dari Menteri/pejabat yg ditunjuk); 

Pasal 38 ayat (2) UUK (biaya penempatan tenaga kerja oleh swasta); 

Pasal 44 ayat (1) UUK (pemberi tenaga kerja asing wajib menaati standar dan kompetensi yang berlaku); 

Pasal 45 ayat (1) UUK (tenaga kerja WNI sebagai pendamping tenaga kerja asing); 

Pasal 63 ayat (1) UUK (PKWT secara lisan, pengusaha wajib membuat surat pengangkatan); 

Pasal 67 ayat (1) UUK (perlindungan bagi tenaga kerja yang cacat);

Pasal 71 ayat (2) UUK (syarat-syarat mempekerjakan anak); 

Pasal 76 UUK (perlindungan bagi buruh perempuan); 

Pasal 78 ayat (1) UUK (ketentuan mengenai lembur); 

Pasal 78 ayat (2) UUK (wajib bayar upah pada jam kerja jembur); 

Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2) UUK (waktu istirahat bagi buruh); 

Pasal 85 ayat (3) UUK (pembayaran upah lembur pada hari libur resmi); 

Pasal 93 ayat (2) UUK (pembayaran upah karena sakit/ tugas negara/pengusaha tdk mau mempekerjakan buruh sesuai perjanjian/hak istirahat buruh/tugas melaksanakan fungsi serikat); 

Pasal 108 ayat (1) UUK (wajib membuat peraturan perusahaan yang mempekerjakan minimal 10 orang buruh); 

Pasal 111 ayat (3) UUK (masa berlaku Peraturan 2 tahun dan wajib diperbaharui); 

Pasal 114 UUK (peraturan perusahaan wajib dijelaskan kepada buruh dan perubahannya);

Pasal 137 UUK (hak mogok); 

Pasal 138 ayat (1) UUK (menghalangi maksud serikat buruh untuk mogok kerja);

Pasal 144 UUK (mengganti buruh yang mogok dengan buruh yang baru);

Pasal 148 UUK (syarat-syarat lock out );

Pelanggaran di bidang ketenagakerjaan juga diatur pada Pasal 29 UU No. 3 tahun 1992 tentang Jamsostek;

Pelanggaran Pasal 122 UU PPHI;

Pelanggaran Pasal 15 UU No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;

Pelanggaran Pasal 10 dan Pasal 11 UU No 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaaan di Perusahaan (kewajiban perusahaan untuk melapor saat mendirikan, menjalankan kembali, memindahkan, menghentikan atau membubarkan perusahaan.

(sumber: Gindo Nadapdap, Koord. Divisi Kampanye/Pembelaan KPS Medan, diolah)

Prakteknya?

Kasus diseretnya Direktur HRD ke meja hijau karena dinilai melanggar hak buruh, bisa jadi adalah salah satu cerita sukses penegakan sanksi pidana di bidang ketenagakerjaan. Sayang, kasus serupa minim, kalau tidak mau dikatakan tidak ada, dijumpai di tempat lain. Padahal, fakta membuktikan bahwa masih banyak buruh yang dibayar dibawah upah minimum, atau masih banyak pula buruh yang tidak diikutsertakan perusahaan ke dalam program Jamsostek.

Jika upaya untuk mengkriminalisasikan pengusaha bandel teramat sulit, tidak demikian halnya dengan kriminalisasi terhadap buruh. Tuduhannya beragam. Namun rata-rata pengusaha memakai KUHP untuk menjerat buruh. Sebut misalnya tuduhan pencemaran nama baik, penggelapan, bahkan hingga tuduhan mencuri sandal yang bolong milik perusahaan.

Terlepas dari masalah kriminalisasi yang menghantui buruh, komitmen aparat penegak hukum untuk menegakkan ketentuan pidana ketenagakerjaan patut dipertanyakan. Pasalnya, hukum tidak dibuat untuk dikangkangi, melainkan untuk ditegakkan.

Bicara mengenai aparat hukum yang berwenang menegakkan ketentuan pidana, tentu pikiran kita akan langsung melayang ke kepolisian. Polisi adalah penegak hukum yang pertama kali bersinggungan ketika terjadi tindak pidana di lapangan. Sementara jika bicara mengenai ketenagakerjaan, UU ketenagakerjaan memberikan kewenangan kepada pegawai pengawasan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). 

Fakta minimnya penindakan kepada pengusaha yang melanggar ketentuan pidana membuat buruh bertanya-tanya. Apakah kepolisian sebagai salah satu penegak hukum tidak memiliki kemampuan untuk menyidik setiap pelanggaran pidana ketenagakerjaan? Atau pengawas dan PPNS ketenagakerjaan tidak memiliki kemauan untuk menegakkan ketentuan pidana ketenagakerjaan?

Saling Lempar

Pihak kepolisian membantah tudingan bahwa kepolisian tidak becus menangani perkara pidana ketenagakerjaan. Minimnya peran Polri dalam menindak pelanggaran pidana ketenagakerjaan lebih karena sikap ewuh pakewuh. “Tindak pidana ketenagakerjaan kan sudah menjadi yurisdiksinya PPNS ketenagakerjaan,” ujar Kadiv Humas Mabes Polri Abu Bakar Nataprawira lewat telepon, Jumat (1/8). 

Lebih jauh Abu Bakar mengaku belum terlalu mengetahui alur penanganan perkara tindak pidana ketenagakerjaan. “Saya belum tahu bagaimana undang-undangnya, apakah ketika PPNS menangani perkara ini, kewenangan Polri menjadi hilang atau tidak untuk menyidik perkara ketenagakerjaan.”

Pernyataan Abu Bakar itu seolah menyiratkan bahwa Polri memang belum cukup kapasitasnya untuk menangani perkara ketenagakerjaan. Mengenai sikap ewuh pakewuh tadi misalnya. Pasal 182 ayat (1) UU ketenagakerjaan sebenarnya memberi kewenangan kepada Polri terlebih dulu untuk menyidik pelanggaran ketentuan pidana ketenagakerjaan.

Di lapangan, polisi juga terlihat gagap dengan hukum ketenagakerjaan. Kondisi ini diperparah dengan tidak tersedianya infrastuktur yang memadai. Contoh konkretnya adalah tidak adanya divisi atau unit khusus yang menangani perkara ketenagakerjaan. Selama ini, tiap perkara ketenagakerjaan diteruskan ke Unit Sumber Daya Lingkungan (Sumdaling) yang saban harinya menangkap pengoplos BBM dan pedagang satwa liar.  

Mengenai kemungkinan dibentuknya unit aduan khusus masalah ketenagakerjaan, Abu Bakar belum bersedia menjawabnya. “Kalau mengenai pembentukan unit aduan khusus seperti kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga, red) dalam kasus ketenagakerjaan, saya tidak cukup berkompeten untuk menjawabnya.”

Sahat Sinurat, Biro Hukum Depnakertrans punya pendapat lain. Menurutnya, pemahaman masyarakat terhadap UU ketenagakerjaan masih belum utuh. “Sehingga masyarakat berpandangan bahwa sanksi pidana ketenagakerjaan masih belum efektif ditegakkan.”

Masalah utama tidak ditegakkannya sanksi pidana ketenagakerjaan, timpal Sahat, adalah minimnya jumlah pengawas di daerah. “Kalau dibuat perbandingan, bisa jadi seorang pengawas akan memantau puluhan atau bahkan ratusan perusahaan di saat bersamaan. Mungkin nggak kalau begini?” tukasnya. Pada tahun 2006, Depnakertrans mencatat, sebanyak 177 dari 480-an kabupaten atau kota di Indonesia yang tidak memiliki pegawai pengawas dan PPNS. 

Sinergi PPNS-Polisi

Masalah lain tidak efektifnya pengawasan ketenagakerjaan adalah kapasitas dan kompetensi seorang pengawas untuk menindak setiap pelanggaran pidana ketenagakerjaan. “Tidak semua pengawas ketenagakerjaan bisa bertindak sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Jumlah PPNS ini jauh lebih sedikit dari pada pengawas.”

Kemampuan seorang PPNS pun, sambung Sahat, rata-rata masih di bawah kemampuan seorang polisi untuk melakukan penyidikan. “Tapi kalau soal aturan ketenagakerjaan, kemampuan PPNS sedikit lebih baik dari pada polisi. Makanya, kalau antara PPNS dan kepolisian bisa bersinergi, akan lebih baik.”

Dengan kondisi obyektif dimana jumlah pengawas tak sebanding dengan jumlah perusahaan yang harus diawasi dan terbatasnya kemampuan PPNS, Sahat berharap pekerja dapat proaktif untuk melaporkan dugaan pelanggaran pidana ketenagakerjaan. “Kalau ada masalah pelanggaran pidana ketenagakerjaan, segera laporkan ke pengawas.”

Sementara untuk menyiasati keterbatasan kemampuan PPNS ketenagakerjaan, Sahat berharap agar buruh sekaligus menyertakan putusan PHI yang menyatakan bahwa pengusaha telah melanggar hak-hak normatif buruh. “Adanya putusan PHI itu akan semakin mempermudah PPNS untuk menyidik suatu perkara.” 

Reytman Aruan, pengajar Fakultas Hukum Universitas Mpu Tantular, punya pendapat berbeda. Menurutnya, ketika terjadi pelanggaran hak normatif, buruh bisa langsung menempuh dua upaya hukum. “Bisa secara perdata dengan menempuh gugatan ke PHI sekaligus dengan melaporkan pidananya ke pengawas atau kepolisian.”

Hal senada diungkapkan Basani Situmorang. Mantan Kepala Biro Hukum Depnakertrans itu menyatakan, di saat bersamaan buruh bisa menempuh gugatan perdata dan laporan pidana. “Sayang, dalam praktek, ketika hak normatif buruh sudah terbayarkan, buruh melupakan pidananya. Padahal, undang-undang sudah tegas menyatakan bahwa pembayaran hak normatif buruh, tidak menghilangkan sifat tindak pidananya.” 

Entah sampai kapan ketimpangan nasib antara buruh dan pengusaha akan terus terjadi. Negara melalui aparatnya seharusnya berkewajiban mengupayakan agar keadilan di antara dua kubu terwujud. Tetapi entah sampai kapan?

Aspek Hukum Ketenagakerjaan Perlu Masuk Kurikulum Polri

Aspek-aspek yang berkaitan dengan penanganan perselisihan perburuhan seperti negosiasi, pengendalian massa dan resolusi konflik perlu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan kedinasan Polri.

Saran tersebut disampaikan tim peneliti dari Departemen Kriminologi Universitas Indonesia dalam kaitannya dengan masih kurangnya pemahaman aparat kepolisian terhadap berbagai aspek hukum ketenagakerjaan. Survei bertajuk “Pengetahuan dan Kapasitas Polri dalam Menerapkan Prinsip-Prinsip dan Hak-Hak Dasar di Tempat Kerja” itu dilaksanakan sebagai realisasi kerjasama ILO, Polri dan Depnakertrans. Hasil survei tersebut belum lama ini dilansir di Jakarta. 

Tim survei menyarankan agar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), misalnya, Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan, prosedur penyelesaian perselisihan perburuhan, resolusi konflik dan teknik negosiasi dimasukkan sebagai bagian kurikulum yang diajarkan. Sementara, di tingkat Sekolah Pimpinan dan Akademi Kepolisian perlu ditambahkan pengetahuan tentang hak asasi manusia, tentu selain perundang-perundangan ketenagakerjaan. 

Satu hal yang pasti, tim yang dikomandoi kriminolog M. Mustofa itu menyarankan agar mata kuliah hukum perburuhan dan penyelesaian perselisihan perburuhan diajarkan di semua tingkatan pendidikan, mulai dari Secapa, Penerimaan Perwira Sumber Sarjana, Akpol, Selapa, PTIK hingga Sespim. 

Berdasarkan survei yang dilaksanakan Oktober-Desember 2003 itu terungkap, masih ada sejumlah isu hukum perburuhan yang tidak dipahami atau dikuasai responden. Padahal, respondennya adalah para perwira menengah Polri yang sengaja dipilih dari wilayah yang rawan konflik perburuhan. 

“Tetapi pada umumnya responden mempunyai pengetahuan yang cukup memadai terhadap prinsip-prinsip dan hak-hak dasar di tempat kerja,” ujar Profesor M. Mustofa, koordinator survey, saat meluncurkan hasil survey tersebut di Jakarta.

Para perwira polisi yang menjadi responden mengetahui bahwa adalah hak bagi serikat buruh untuk berserikat dan hak bagi pengusaha untuk mengorganisir diri. Mereka juga tahu bahwa buruh mempunyai hak untuk berunding secara kolektif.  

Namun, ketika hal itu dikaitkan dengan hak anggota polisi dan tentara, responden tidak mengakuinya sebagai hak. Artinya, mayoritas responden tidak menganggap berserikat di kepolisian sebagai hak. Inilah yang dinilai Saeful Tavip, Sekjen Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia, agak aneh, sebab di beberapa negara lain, polisi malah boleh berserikat. Ia juga mengecam telegram Kapolri yang melarang satpam membentuk serikat.

Nah, terkait dengan perlindungan hak untuk berorganisasi, polisi masih didominasi pemikiran bahwa pemerintah punya hak untuk membubarkan organisasi serikat pekerja atau organisasi pengusaha. Survei juga mencatat bahwa pengetahuan polisi terhadap batasan usia kerja belum seragam. Disamping itu, para responden membenarkan terjadinya perbedaan gaji berdasakan jenis kelamin dalam pekerjaan tertentu yang beresiko tinggi.  

Tidak teridentifikasi

Menariknya, tingkat pemahaman para polisi terhadap penyelesaian perselisihan perburuhan tidak dapat diidentifikasi, meskipun mereka menyatakan bahwa dalam organisasi Polri terdapat petunjuk pelaksanaan penanganan perselisihan perburuhan. Ini tidak konsisten dengan pengakuan bahwa institusi Polri kurang memberikan informasi terbaru mengenai masalah perburuhan. 

Ada empat kendala yang umumnya dihadapi polisi dalam menangani perselisihan hubungan industrial. Pertama, kendala dalam menghadapi massa pekerja yang dapat emosional dan anarkis. Kedua, kendala yang berhubungan dengan kemampuan personil dan daya jangkau Polri. Ketiga, kendala yang berhubungan dengan proses hukum yang tidak lancar. Dan keempat, kendala yang berhubungan dengan proses mediasi antara buruh dan pengusaha. 

Meskipun demikian, jika diidentifikasi berdasarkan pengalaman menangani perselisihan perburuhan, pada umumnya penanganan diarahkan untuk negosiasi atau mendamaikan pihak-pihak yang berkonflik. Disamping itu juga menekankan peran menjaga keamanan, diikuti penyidikan bila terjadi tindak pidana sebagai ekses perselisihan perburuhan.

Kebiasaan polisi hanya menggunakan KUHP dan KUHAP menimbulkan masalah tersendiri jika berhadapan dengan perselisihan perburuhan. Faktanya, sejumlah buruh yang menuntut hak justru dipidanakan oleh polisi akibat laporan dan pengaduan pencemaran nama baik dari pengusaha. Oleh karena itu, responden mengakui pentingnya petunjuk lapangan sebagai penjabaran dari UU Ketenagakerjaan, UU Kepolisian dan UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

25 Agustus 2008

Tantangan Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Sektor Konstruksi


Masalah keselamatan dan kesehatan kerja (K3) secara umum di Indonesia masih sering terabaikan. Hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya angka kecelakaan kerja. Di Indonesia, setiap tujuh detik terjadi satu kasus kecelakaan kerja (”K3 Masih Dianggap Remeh,” Warta Ekonomi, 2 Juni 2006). Hal ini tentunya sangat memprihatinkan. Tingkat kepedulian dunia usaha terhadap K3 masih rendah. Padahal karyawan adalah aset penting perusahaan. Kewajiban untuk menyelenggarakaan Sistem Manajemen K3 pada perusahaan-perusahaan besar melalui UU Ketenagakerjaan, baru menghasilkan 2,1% saja dari 15.000 lebih perusahaan berskala besar di Indonesia yang sudah menerapkan Sistem Manajemen K3. Minimnya jumlah itu sebagian besar disebabkan oleh masih adanya anggapan bahwa program K3 hanya akan menjadi tambahan beban biaya perusahaan. Padahal jika diperhitungkan besarnya dana kompensasi/santunan untuk korban kecelakaan kerja sebagai akibat diabaikannya Sistem Manajemen K3, yang besarnya mencapai lebih dari 190 milyar rupiah di tahun 2003, jelaslah bahwa masalah K3 tidak selayaknya diabaikan. Di samping itu, yang masih perlu menjadi catatan adalah standar keselamatan kerja di Indonesia ternyata paling buruk jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, termasuk dua negara lainnya, yakni Bangladesh dan Pakistan. Sebagai contoh, data terjadinya kecelakaan kerja yang berakibat fatal pada tahun 2001 di Indonesia sebanyak 16.931 kasus, sementara di Bangladesh 11.768 kasus. Jumlah kecelakaan kerja yang tercatat juga ditengarai tidak menggambarkan kenyataan di lapangan yang sesungguhnya yaitu tingkat kecelakaan kerja yang lebih tinggi lagi. Seperti diakui oleh berbagai kalangan di lingkungan Departemen Tenaga Kerja, angka kecelakaan kerja yang tercatat dicurigai hanya mewakili tidak lebih dari setengah saja dari angka kecelakaan kerja yang terjadi. Hal ini disebabkan oleh beberapa masalah, antara lain rendahnya kepentingan masyarakat untuk melaporkan kecelakaan kerja kepada pihak yang berwenang, khususnya PT. Jamsostek. Pelaporan kecelakaan kerja sebenarnya diwajibkan oleh undang-undang, namun terdapat dua hal penghalang yaitu prosedur administrasi yang dianggap merepotkan dan nilai klaim asuransi tenaga kerja yang kurang memadai. Di samping itu, sanksi bagi perusahaan yang tidak melaporkan kasus kecelakaan kerja sangat ringan.
Sebagian besar dari kasus-kasus kecelakaan kerja terjadi pada kelompok usia produktif. Kematian merupakan akibat dari kecelakaan kerja yang tidak dapat diukur nilainya secara ekonomis. Kecelakaan kerja yang mengakibatkan cacat seumur hidup, di samping berdampak pada kerugian non-materil, juga menimbulkan kerugian materil yang sangat besar, bahkan lebih besar bila dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan oleh penderita penyakit-penyakit serius seperti penyakit jantung dan kanker. Masalah umum mengenai K3 ini juga terjadi pada penyelenggaraan konstruksi. Tenaga kerja di sektor jasa konstruksi mencakup sekitar 7-8% dari jumlah tenaga kerja di seluruh sektor, dan menyumbang 6.45% dari PDB di Indonesia. Sektor jasa konstruksi adalah salah satu sektor yang paling berisiko terhadap kecelakaan kerja, disamping sektor utama lainnya yaitu pertanian, perikanan, perkayuan, dan pertambangan. Jumlah tenaga kerja di sektor konstruksi yang mencapai sekitar 4.5 juta orang, 53% di antaranya hanya mengenyam pendidikan sampai dengan tingkat Sekolah Dasar, bahkan sekitar 1.5% dari tenaga kerja ini belum pernah mendapatkan pendidikan formal apapun. Sebagai besar dari mereka juga berstatus tenaga kerja harian lepas atau borongan yang tidak memiliki ikatan kerja yang formal dengan perusahaan. Kenyataan ini tentunya mempersulit penanganan masalah K3 yang biasanya dilakukan dengan metoda pelatihan dan penjelasan-penjelasan mengenai Sistem Manajemen K3 yang diterapkan pada perusahaan konstruksi.