29 Agustus 2008

Menanti Ditegakkannya Sanksi Pidana Ketenagakerjaan

Kalangan buruh menilai sanksi pidana hanya dikenakan kepada buruh. Sementara, pengusaha kerap lolos dari jeratan sanksi pidana ketenagakerjaan. Akibat ketidakmampuan atau ketidakmauan penegak hukum menerapkan pidana ketenagakerjaan?

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pertengahan April 2008. Di salah satu ruang sidang, sedang digelar persidangan perkara pidana. Di hadapan majelis hakim duduk seseorang yang menjadi “obyek” di persidangan kala itu. Ia diapit oleh penuntut umum di sebelah kiri dan penasehat hukum di sebelah kanan.

“Apakah setiap perkara perburuhan harus diselesaikan terlebih dulu lewat mekanisme P4D/P4P? (Panitia Penyelesaian Perkara Perburuhan Daerah/Pusat, red) atau bisa langsung diproses secara pidana?” tanya seorang jaksa penuntut umum kepada “obyek” persidangan itu. 

Sebelum pertanyaan itu dijawab, majelis hakim menyela pembicaraan jaksa. “Begini Bu Jaksa, setelah lahirnya UU Ketenagakerjaan dan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, eksistensi P4D/P4P itu digantikan oleh Pengadilan Hubungan Industrial,” kata ketua majelis hakim. Mendengar penjelasan itu, si ibu jaksa tadi hanya tersenyum kecil sambil meralat pertanyaannya. 

Cuplikan peristiwa di atas bukan rekayasa. Hal itu benar-benar terjadi. Bisa jadi si ibu jaksa tadi tidak sendiri. Bisa jadi juga masih banyak aparat penegak hukum lain yang belum meng-update pengetahuannya mengenai hukum perburuhan. 

Kondisi dimana aparat penegak hukum belum beradaptasi dengan isu dan ketentuan hukum perburuhan terkini, di satu sisi dapat membahayakan perlindungan terhadap buruh. Bagaimana tidak. Pasalnya, di saat bersamaan, hampir sebagian besar kalangan buruh tidak lagi percaya terhadap eksistensi Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sebagai lembaga penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan pengusaha. 

Kiagus Ahmad, pengacara publik LBH Jakarta -yang akrab disapa Aben- sempat melontarkan kritikannya terhadap mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004. Menurutnya, keberadaan UU PPHI itu malah menggeser rezim hukum perburuhan dari hukum publik ke hukum privat. Ketika buruh dan pengusaha sedang “asyik” berselisih di PHI, pemerintah malah menjadi penonton.

Padahal filosofis Hukum Perburuhan, kata pengajar Hukum Perburuhan Universitas Indonesia Widodo Suryandono, intervensi negara dalam kerangka perlindungan terhadap buruh mutlak dibutuhkan. 

Berangkat dari pemahaman bahwa negara dalam hal ini pemerintah harus melindungi hak-hak buruh dan kondisi dimana PHI acap kali menjadi kuburan keadilan bagi buruh, Aben berharap agar buruh mencari alternatif solusi lain dalam memecahkan masalah ketenegakerjaan. Salah satunya adalah dengan lebih mengefektifkan penegakan ketentuan pidana ketenagakerjaan.

Salah satu contoh upaya mengefektifkan sanksi pidana ketenagakerjaan, ditunjukkan LBH Jakarta dengan melaporkan Direktur HRD Hotel Sultan yang tidak membayarkan upah kepada pekerjanya yang diskorsing. Tak lama setelah dilaporkan ke kepolisian, upah para pekerja akhirnya dicairkan. Meski begitu, proses pidana terhadap Direktur itu masih berjalan hingga saat ini.
 
Ranjau sanksi pidana

Ucapan Aben untuk mengefektifkan ketentuan pidana ketenagakerjaan bukannya tanpa dasar. Di dalam paket hukum perburuhan, yaitu UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, UU ketenagakerjaan dan UU PPHI, tersebar banyak ranjau sanksi pidana bagi pengusaha yang melanggarnya.

Sahat Sinurat, Biro Hukum Depnakertrans membedah anatomi paket hukum perburuhan ke dalam dua kaidah. “Kalau dibedah, ada dua kaidah. Pertama, kaidah yang sifatnya memaksa. Kedua, yang sifatnya mengatur,” ujar Sahat ketika ditemui di kantornya, Senin (4/8). Contoh kaidah mengatur (aanvullen recht) dalam UU Ketenagakerjaan adalah ketentuan tentang persyaratan suatu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). “Kalau persyaratan itu tidak dipenuhi, hukum atau undang-undang sudah memberikan 'sanksinya', yaitu berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).”

Sementara kaidah yang memaksa (dwingen recht), lanjut Sahat, digunakan untuk memaksa subjek hukum yang disebut dalam pasal itu untuk melakukan sesuatu hal. “Kalau tidak dilaksanakan, ada ancaman sanksi yang bisa dikenakan. Baik itu sanksi denda atau pidana,” cetusnya. Ketentuan pidana yang tersebar dalam paket UU Perburuhan dapat diklasifikasikan ke dalam kejahatan dan pelanggaran. Selain itu, ketentuan pidana juga terdapat di UU Jamsostek dan UU Keselamatan Kerja.

 
Tindak Pidana di Bidang Ketenagakerjaan

Dikategorikan sebagai kejahatan: 

Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) (larangan pekerja asing tanpa ijin dan perorangan yang mempekerjakan pekerja asing); 

Pasal 68 (larangan mempekerjakan anak);

Pasal 69 ayat (2) (mempekerjakan anak tanpa ijin orang tuanya); 

Pasal 74 UUK (larangan mempekerjakan anak-anak pada pekerjaan terburuk); 

Pasal 80 (jaminan kesempatan beribadah yang cukup); 

Pasal 82 (cuti karena melahirkan dan keguguran); 

Pasal 90 ayat (1) (pembayaran upah di bawah Upah Minimum); 

Pasal 143 (menghalang-halangi kebebasan buruh utk berserikat); 

Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7) (mempekerjakan buruh yang tidak bersalah dalam 6 bulan sebelum perkara pidana diadili dan kewajiban pengusaha membayar uang penghargaan masa kerja bagi buruh yang diphk karena diadili dalam perkara pidana); 

Pasal 167 ayat (5) UUK (buruh yang diphk karena pensiun tetapi pengusaha tidak mau membayar pesangonnya 2 x ketentuan Pasal 156 UUK; 

Tindak pidana kejahatan atas pelanggaran Pasal 43 UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh mengenai larangan menghalang-halangi buruh membentuk, menjadi pengurus atau anggota dan menjalankan serikat pekerja.  

Dikategorikan sebagai pelanggaran:

Pasal 14 ayat (2) UUK (perijinan bagi lembaga pelatihan kerja swasta); 

Pasal 35 ayat (2) UUK (kewajiban pelaksana penempatan tenaga kerja memberi perlindungan sejak rekruitment sampai penempatan tenaga kerja); 

Pasal 35 ayat (3) UUK (perlindungan oleh pemberi kerja atas kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan mental dan fisik); 

Pasal 37 ayat (2) UUK (lembaga penempatan tenaga kerja tanpa ijin tertulis dari Menteri/pejabat yg ditunjuk); 

Pasal 38 ayat (2) UUK (biaya penempatan tenaga kerja oleh swasta); 

Pasal 44 ayat (1) UUK (pemberi tenaga kerja asing wajib menaati standar dan kompetensi yang berlaku); 

Pasal 45 ayat (1) UUK (tenaga kerja WNI sebagai pendamping tenaga kerja asing); 

Pasal 63 ayat (1) UUK (PKWT secara lisan, pengusaha wajib membuat surat pengangkatan); 

Pasal 67 ayat (1) UUK (perlindungan bagi tenaga kerja yang cacat);

Pasal 71 ayat (2) UUK (syarat-syarat mempekerjakan anak); 

Pasal 76 UUK (perlindungan bagi buruh perempuan); 

Pasal 78 ayat (1) UUK (ketentuan mengenai lembur); 

Pasal 78 ayat (2) UUK (wajib bayar upah pada jam kerja jembur); 

Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2) UUK (waktu istirahat bagi buruh); 

Pasal 85 ayat (3) UUK (pembayaran upah lembur pada hari libur resmi); 

Pasal 93 ayat (2) UUK (pembayaran upah karena sakit/ tugas negara/pengusaha tdk mau mempekerjakan buruh sesuai perjanjian/hak istirahat buruh/tugas melaksanakan fungsi serikat); 

Pasal 108 ayat (1) UUK (wajib membuat peraturan perusahaan yang mempekerjakan minimal 10 orang buruh); 

Pasal 111 ayat (3) UUK (masa berlaku Peraturan 2 tahun dan wajib diperbaharui); 

Pasal 114 UUK (peraturan perusahaan wajib dijelaskan kepada buruh dan perubahannya);

Pasal 137 UUK (hak mogok); 

Pasal 138 ayat (1) UUK (menghalangi maksud serikat buruh untuk mogok kerja);

Pasal 144 UUK (mengganti buruh yang mogok dengan buruh yang baru);

Pasal 148 UUK (syarat-syarat lock out );

Pelanggaran di bidang ketenagakerjaan juga diatur pada Pasal 29 UU No. 3 tahun 1992 tentang Jamsostek;

Pelanggaran Pasal 122 UU PPHI;

Pelanggaran Pasal 15 UU No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;

Pelanggaran Pasal 10 dan Pasal 11 UU No 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaaan di Perusahaan (kewajiban perusahaan untuk melapor saat mendirikan, menjalankan kembali, memindahkan, menghentikan atau membubarkan perusahaan.

(sumber: Gindo Nadapdap, Koord. Divisi Kampanye/Pembelaan KPS Medan, diolah)

Prakteknya?

Kasus diseretnya Direktur HRD ke meja hijau karena dinilai melanggar hak buruh, bisa jadi adalah salah satu cerita sukses penegakan sanksi pidana di bidang ketenagakerjaan. Sayang, kasus serupa minim, kalau tidak mau dikatakan tidak ada, dijumpai di tempat lain. Padahal, fakta membuktikan bahwa masih banyak buruh yang dibayar dibawah upah minimum, atau masih banyak pula buruh yang tidak diikutsertakan perusahaan ke dalam program Jamsostek.

Jika upaya untuk mengkriminalisasikan pengusaha bandel teramat sulit, tidak demikian halnya dengan kriminalisasi terhadap buruh. Tuduhannya beragam. Namun rata-rata pengusaha memakai KUHP untuk menjerat buruh. Sebut misalnya tuduhan pencemaran nama baik, penggelapan, bahkan hingga tuduhan mencuri sandal yang bolong milik perusahaan.

Terlepas dari masalah kriminalisasi yang menghantui buruh, komitmen aparat penegak hukum untuk menegakkan ketentuan pidana ketenagakerjaan patut dipertanyakan. Pasalnya, hukum tidak dibuat untuk dikangkangi, melainkan untuk ditegakkan.

Bicara mengenai aparat hukum yang berwenang menegakkan ketentuan pidana, tentu pikiran kita akan langsung melayang ke kepolisian. Polisi adalah penegak hukum yang pertama kali bersinggungan ketika terjadi tindak pidana di lapangan. Sementara jika bicara mengenai ketenagakerjaan, UU ketenagakerjaan memberikan kewenangan kepada pegawai pengawasan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). 

Fakta minimnya penindakan kepada pengusaha yang melanggar ketentuan pidana membuat buruh bertanya-tanya. Apakah kepolisian sebagai salah satu penegak hukum tidak memiliki kemampuan untuk menyidik setiap pelanggaran pidana ketenagakerjaan? Atau pengawas dan PPNS ketenagakerjaan tidak memiliki kemauan untuk menegakkan ketentuan pidana ketenagakerjaan?

Saling Lempar

Pihak kepolisian membantah tudingan bahwa kepolisian tidak becus menangani perkara pidana ketenagakerjaan. Minimnya peran Polri dalam menindak pelanggaran pidana ketenagakerjaan lebih karena sikap ewuh pakewuh. “Tindak pidana ketenagakerjaan kan sudah menjadi yurisdiksinya PPNS ketenagakerjaan,” ujar Kadiv Humas Mabes Polri Abu Bakar Nataprawira lewat telepon, Jumat (1/8). 

Lebih jauh Abu Bakar mengaku belum terlalu mengetahui alur penanganan perkara tindak pidana ketenagakerjaan. “Saya belum tahu bagaimana undang-undangnya, apakah ketika PPNS menangani perkara ini, kewenangan Polri menjadi hilang atau tidak untuk menyidik perkara ketenagakerjaan.”

Pernyataan Abu Bakar itu seolah menyiratkan bahwa Polri memang belum cukup kapasitasnya untuk menangani perkara ketenagakerjaan. Mengenai sikap ewuh pakewuh tadi misalnya. Pasal 182 ayat (1) UU ketenagakerjaan sebenarnya memberi kewenangan kepada Polri terlebih dulu untuk menyidik pelanggaran ketentuan pidana ketenagakerjaan.

Di lapangan, polisi juga terlihat gagap dengan hukum ketenagakerjaan. Kondisi ini diperparah dengan tidak tersedianya infrastuktur yang memadai. Contoh konkretnya adalah tidak adanya divisi atau unit khusus yang menangani perkara ketenagakerjaan. Selama ini, tiap perkara ketenagakerjaan diteruskan ke Unit Sumber Daya Lingkungan (Sumdaling) yang saban harinya menangkap pengoplos BBM dan pedagang satwa liar.  

Mengenai kemungkinan dibentuknya unit aduan khusus masalah ketenagakerjaan, Abu Bakar belum bersedia menjawabnya. “Kalau mengenai pembentukan unit aduan khusus seperti kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga, red) dalam kasus ketenagakerjaan, saya tidak cukup berkompeten untuk menjawabnya.”

Sahat Sinurat, Biro Hukum Depnakertrans punya pendapat lain. Menurutnya, pemahaman masyarakat terhadap UU ketenagakerjaan masih belum utuh. “Sehingga masyarakat berpandangan bahwa sanksi pidana ketenagakerjaan masih belum efektif ditegakkan.”

Masalah utama tidak ditegakkannya sanksi pidana ketenagakerjaan, timpal Sahat, adalah minimnya jumlah pengawas di daerah. “Kalau dibuat perbandingan, bisa jadi seorang pengawas akan memantau puluhan atau bahkan ratusan perusahaan di saat bersamaan. Mungkin nggak kalau begini?” tukasnya. Pada tahun 2006, Depnakertrans mencatat, sebanyak 177 dari 480-an kabupaten atau kota di Indonesia yang tidak memiliki pegawai pengawas dan PPNS. 

Sinergi PPNS-Polisi

Masalah lain tidak efektifnya pengawasan ketenagakerjaan adalah kapasitas dan kompetensi seorang pengawas untuk menindak setiap pelanggaran pidana ketenagakerjaan. “Tidak semua pengawas ketenagakerjaan bisa bertindak sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Jumlah PPNS ini jauh lebih sedikit dari pada pengawas.”

Kemampuan seorang PPNS pun, sambung Sahat, rata-rata masih di bawah kemampuan seorang polisi untuk melakukan penyidikan. “Tapi kalau soal aturan ketenagakerjaan, kemampuan PPNS sedikit lebih baik dari pada polisi. Makanya, kalau antara PPNS dan kepolisian bisa bersinergi, akan lebih baik.”

Dengan kondisi obyektif dimana jumlah pengawas tak sebanding dengan jumlah perusahaan yang harus diawasi dan terbatasnya kemampuan PPNS, Sahat berharap pekerja dapat proaktif untuk melaporkan dugaan pelanggaran pidana ketenagakerjaan. “Kalau ada masalah pelanggaran pidana ketenagakerjaan, segera laporkan ke pengawas.”

Sementara untuk menyiasati keterbatasan kemampuan PPNS ketenagakerjaan, Sahat berharap agar buruh sekaligus menyertakan putusan PHI yang menyatakan bahwa pengusaha telah melanggar hak-hak normatif buruh. “Adanya putusan PHI itu akan semakin mempermudah PPNS untuk menyidik suatu perkara.” 

Reytman Aruan, pengajar Fakultas Hukum Universitas Mpu Tantular, punya pendapat berbeda. Menurutnya, ketika terjadi pelanggaran hak normatif, buruh bisa langsung menempuh dua upaya hukum. “Bisa secara perdata dengan menempuh gugatan ke PHI sekaligus dengan melaporkan pidananya ke pengawas atau kepolisian.”

Hal senada diungkapkan Basani Situmorang. Mantan Kepala Biro Hukum Depnakertrans itu menyatakan, di saat bersamaan buruh bisa menempuh gugatan perdata dan laporan pidana. “Sayang, dalam praktek, ketika hak normatif buruh sudah terbayarkan, buruh melupakan pidananya. Padahal, undang-undang sudah tegas menyatakan bahwa pembayaran hak normatif buruh, tidak menghilangkan sifat tindak pidananya.” 

Entah sampai kapan ketimpangan nasib antara buruh dan pengusaha akan terus terjadi. Negara melalui aparatnya seharusnya berkewajiban mengupayakan agar keadilan di antara dua kubu terwujud. Tetapi entah sampai kapan?

Tidak ada komentar: