29 Agustus 2008

Aspek Hukum Ketenagakerjaan Perlu Masuk Kurikulum Polri

Aspek-aspek yang berkaitan dengan penanganan perselisihan perburuhan seperti negosiasi, pengendalian massa dan resolusi konflik perlu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan kedinasan Polri.

Saran tersebut disampaikan tim peneliti dari Departemen Kriminologi Universitas Indonesia dalam kaitannya dengan masih kurangnya pemahaman aparat kepolisian terhadap berbagai aspek hukum ketenagakerjaan. Survei bertajuk “Pengetahuan dan Kapasitas Polri dalam Menerapkan Prinsip-Prinsip dan Hak-Hak Dasar di Tempat Kerja” itu dilaksanakan sebagai realisasi kerjasama ILO, Polri dan Depnakertrans. Hasil survei tersebut belum lama ini dilansir di Jakarta. 

Tim survei menyarankan agar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), misalnya, Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan, prosedur penyelesaian perselisihan perburuhan, resolusi konflik dan teknik negosiasi dimasukkan sebagai bagian kurikulum yang diajarkan. Sementara, di tingkat Sekolah Pimpinan dan Akademi Kepolisian perlu ditambahkan pengetahuan tentang hak asasi manusia, tentu selain perundang-perundangan ketenagakerjaan. 

Satu hal yang pasti, tim yang dikomandoi kriminolog M. Mustofa itu menyarankan agar mata kuliah hukum perburuhan dan penyelesaian perselisihan perburuhan diajarkan di semua tingkatan pendidikan, mulai dari Secapa, Penerimaan Perwira Sumber Sarjana, Akpol, Selapa, PTIK hingga Sespim. 

Berdasarkan survei yang dilaksanakan Oktober-Desember 2003 itu terungkap, masih ada sejumlah isu hukum perburuhan yang tidak dipahami atau dikuasai responden. Padahal, respondennya adalah para perwira menengah Polri yang sengaja dipilih dari wilayah yang rawan konflik perburuhan. 

“Tetapi pada umumnya responden mempunyai pengetahuan yang cukup memadai terhadap prinsip-prinsip dan hak-hak dasar di tempat kerja,” ujar Profesor M. Mustofa, koordinator survey, saat meluncurkan hasil survey tersebut di Jakarta.

Para perwira polisi yang menjadi responden mengetahui bahwa adalah hak bagi serikat buruh untuk berserikat dan hak bagi pengusaha untuk mengorganisir diri. Mereka juga tahu bahwa buruh mempunyai hak untuk berunding secara kolektif.  

Namun, ketika hal itu dikaitkan dengan hak anggota polisi dan tentara, responden tidak mengakuinya sebagai hak. Artinya, mayoritas responden tidak menganggap berserikat di kepolisian sebagai hak. Inilah yang dinilai Saeful Tavip, Sekjen Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia, agak aneh, sebab di beberapa negara lain, polisi malah boleh berserikat. Ia juga mengecam telegram Kapolri yang melarang satpam membentuk serikat.

Nah, terkait dengan perlindungan hak untuk berorganisasi, polisi masih didominasi pemikiran bahwa pemerintah punya hak untuk membubarkan organisasi serikat pekerja atau organisasi pengusaha. Survei juga mencatat bahwa pengetahuan polisi terhadap batasan usia kerja belum seragam. Disamping itu, para responden membenarkan terjadinya perbedaan gaji berdasakan jenis kelamin dalam pekerjaan tertentu yang beresiko tinggi.  

Tidak teridentifikasi

Menariknya, tingkat pemahaman para polisi terhadap penyelesaian perselisihan perburuhan tidak dapat diidentifikasi, meskipun mereka menyatakan bahwa dalam organisasi Polri terdapat petunjuk pelaksanaan penanganan perselisihan perburuhan. Ini tidak konsisten dengan pengakuan bahwa institusi Polri kurang memberikan informasi terbaru mengenai masalah perburuhan. 

Ada empat kendala yang umumnya dihadapi polisi dalam menangani perselisihan hubungan industrial. Pertama, kendala dalam menghadapi massa pekerja yang dapat emosional dan anarkis. Kedua, kendala yang berhubungan dengan kemampuan personil dan daya jangkau Polri. Ketiga, kendala yang berhubungan dengan proses hukum yang tidak lancar. Dan keempat, kendala yang berhubungan dengan proses mediasi antara buruh dan pengusaha. 

Meskipun demikian, jika diidentifikasi berdasarkan pengalaman menangani perselisihan perburuhan, pada umumnya penanganan diarahkan untuk negosiasi atau mendamaikan pihak-pihak yang berkonflik. Disamping itu juga menekankan peran menjaga keamanan, diikuti penyidikan bila terjadi tindak pidana sebagai ekses perselisihan perburuhan.

Kebiasaan polisi hanya menggunakan KUHP dan KUHAP menimbulkan masalah tersendiri jika berhadapan dengan perselisihan perburuhan. Faktanya, sejumlah buruh yang menuntut hak justru dipidanakan oleh polisi akibat laporan dan pengaduan pencemaran nama baik dari pengusaha. Oleh karena itu, responden mengakui pentingnya petunjuk lapangan sebagai penjabaran dari UU Ketenagakerjaan, UU Kepolisian dan UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Tidak ada komentar: