04 September 2008

Ketika Buruh Tidak Diikutkan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan

Akan muncul persoalan mengenai berapa besar dan sampai sejauh mana kewajiban perusahaan menanggung biaya pemeliharaan kesehatan bagi pekerjanya. Namun yang jelas, Jamsostek wajib hukumnya.

Ruang sidang II Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta, Kamis (28/8) siang hari. Seorang ibu tak kuasa menahan isak tangisnya di depan persidangan yang dipimpin oleh hakim Dasniel. Kucuran air matanya bertambah deras ketika ia keluar meninggalkan ruang persidangan. 
Ibu itu bernama Kalsumi. Ia datang ke PHI untuk menuntut keadilan. Ia bukan buruh. Bukan juga seorang advokat maupun kuasa hukum dari serikat buruh. Ia datang mewakili suaminya untuk menuntut hak kepada perusahaan. Maklum, suaminya sudah meninggal dunia terlebih dulu.
Almarhum M. Khotib adalah mantan suami Kalsumi. Ia bekerja di PT Intraco, perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi, sejak 2001 lalu. Posisi terakhirnya adalah sebagai maintenance di bagian gudang. Gaji terakhir yang ia peroleh hanya sedikit lebih dari Rp1 juta tiap bulannya.

 
Kisah Khotib dimulai pada 12 Desember 2007 lalu. Saat itu sedang jam istirahat siang. Selepas menunaikan ibadah, Khotib tiba-tiba tak sadarkan diri di Mushola. Ia pun segera dilarikan ke RSUD Tarakan, Jakarta Pusat. Hasil diagnosa dokter menunjukan kalau pembuluh darah di kepala Khotib sudah pecah. Dengan alasan tidak tersedianya peralatan yang memadai, dokter menyarankan agar Khotib di bawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Pihak dokter RSCM langsung melakukan operasi kepada Khotib sebanyak dua kali. Setelah itu, ia dirawat di bagian Intensive Care Unit. Tapi Tuhan punya kehendak lain. Pada 23 Desember 2007, Khotib menghembuskan napas terakhirnya. 
Kalsumi berusaha untuk menerima kenyataan itu. Masih diliputi suasana duka, Kalsumi mendatangi perusahaan tempat mantan suaminya bekerja. Salah satu alasan kedatangannya adalah menuntut pesangon atas suaminya itu. 

Pasal 166 UU Ketenagakerjaan tegas merumuskan, “Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2 kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat (2), 1 kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat (4).”

Jika dikalkulasi dengan ketentuan Pasal 166 UU Ketenagakerjaan itu, setidaknya Kalsumi berhak atas kompensasi sebesar 17 bulan gaji atau sekitar Rp17jutaan. Namun kenyataannya berbeda. Perusahaan tidak bersedia memenuhi semua tuntutan Kalsumi itu dengan dalilnya sendiri.
Merasa haknya dilanggar, Kalsumi bertekad untuk merebutnya. Perselisihan di tingkat mediator ia lampaui. Hasilnya, mediator saat itu menganjurkan agar perusahaan membayarkan kewajibannya. Karena perusahaan tetap tak mau melaksanakan anjuran mediator, Kalsumi menggulirkan perselisihannya ke PHI Jakarta, tanpa diampingi kuasa hukum. Yang ia minta hanya menuntut haknya sesuai UU.

Gara-gara “pemutihan”

Di sisi lain pihak perusahaan tidak mau dinilai melanggar hak-hak mendiang Khotib dan ahli warisnya. Mereka mengaku punya alasan sendiri hingga tidak bisa membayarkan hak-hak milik Kalsumi sepenuhnya. Anton Pakpahan, Human Resource Development PT Intraco, selepas persidangan mengungkapkan alasannya.
Menurut Anton, perkara ini bisa jadi bermula karena perusahaan tidak mengikutsertakan pekerjanya dalam program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Jamsostek. “Kalau untuk program Jamsostek yang lain seperti Jaminan Hari Tua, Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian, perusahaan mengikutsertakan pekerjanya,” cerita Anton, Kamis (28/8). 
Meski tidak mengikutkan pekerjanya ke dalam Jaminan Kesehatan, lanjut Anton, tidak berarti perusahaan lepas tanggung jawab. Sesuai dengan peraturan perusahaan yang berlaku saat Khotib meninggal, perusahaan akan menanggung biaya pengobatan dan perawatan pekerjanya minimal satu bulan gaji. 
Pasal 19 Peraturan Perusahaan di PT Intraco itu menyebutkan, “Besarnya tunjangan kesehatan dan pengobatan tersebut akan ditetapkan kemudian, namun minimal adalah sebesar satu bulan gaji/upah untuk satu tahun...”
Selain ketentuan Peraturan Perusahaan itu, sambung Anton, pada praktiknya perusahaan hanya menanggung sebesar 80 persen dari total biaya pengobatan yang dikeluarkan. “Dua puluh persennya ditanggung pekerja.” 
Dalam pengobatan dan perawatan M. Khotib yang kabarnya menelan biaya hingga Rp64 juta, perusahaan mengaku sudah menanggung sebesar 80 persennya. “Kita sudah membantu dengan mengeluarkan uang hingga Rp48 juta. Sisanya yang Rp16 juta itu adalah kewajiban pekerja.” 
Namun belakangan Anton mengetahui kalau pihak RSCM 'memutihkan' kewajiban ahli waris Khotib. Di sinilah pokok masalah muncul. Dengan 'diputihkannya' utang ahli waris kepada RSCM sebesar Rp16 juta itu, perusahaan menganggap total biaya pengobatan dan perawatan Khotib adalah sebesar Rp48 juta, bukan Rp64 juta. 
Lantaran perusahaan sudah membayar Rp48 juta, perusahaan menilai masih memiliki piutang dari kewajiban ahli waris Khotib. “Dua puluh persen dari Rp48 juta, sekitar Rp9,6 juta kan?” Anton menghitung.
Dengan piutang sebesar Rp9,6 juta itu, perusahaan menolak membayar utuh pesangon Khotib. Perusahaan hanya mau membayar pesangon setelah dipotong dengan piutang itu, yakni sekitar Rp8-9 jutaan. “Ya, prinsipnya kalau pihak ahli waris mau berunding, perusahaan masih punya kebijakan,” tukas Anton.

Jamsostek wajib hukumnya


Dihubungi terpisah, Reytman Aruan, Kasubag Hukum dan Organisasi Ditjen PHI dan Jamsostek Depnakertrans, mengungkapkan bahwa program Jamsostek wajib hukumnya. Untuk program Jaminan Hari Tua, Jaminan Kematian dan Jaminan Kecelakaan Kerja, perusahaan harus mendaftarkan pekerjanya ke PT Jamsostek (Persero). Sementara untuk Jaminan Pemeliharaan Kesehatan, perusahaan boleh mengikuti program lain, sepanjang lebih menguntungkan dari yang ditawarkan Jamsostek. 
Untuk program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan itu, Pasal 35 Ayat (1) PP No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jamsostek, sudah ditentukan paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar yang terdiri dari: rawat jalan tingkat pertama, rawat jalan tingkat lanjutan, rawat inap, pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan, penunjang diagnostik, pelayanan khusus dan gawat darurat. “Ini adalah standar minimal pemeliharaan kesehatan. Kalau perusahaan memilih program lain, harus lebih menguntungkan dari standar minimal ini,” jelas Reytman, via telepon, Kamis (28/8). 
Terhadap Peraturan Perusahaan PT Intraco, Reytman memberi catatan keras. Menurutnya, ketentuan peraturan perusahaan yang membatasi tunjangan kesehatan hanya dibayarkan sekali untuk setahun, telah melanggar ketentuan. “Memang kita bisa menolak keadaan kalau kita sakit lebih dari sekali dalam setahun?” sergahnya.
Meski begitu, merujuk pada PP 14/1993 itu, Reytman menegaskan kalau perusahaan hanya berkewajiban untuk memenuhi jaminan pemeliharaan kesehatan dasar. “Sebagai contoh, kalau misalnya pekerja hanya berhak di rawat di ruang inap kelas II, sedangkan pekerjanya memilih di ruang kelas I, maka selisih biayanya ditanggung oleh pekerja, bukan perusahaan.”
Apa yang dikemukakan Reytman memang menjadi bahan argumentasi Anton. Menurutnya, dalam perawatan dan pengobatan Khotib, pihak keluarga memilih obat-obatan yang mahal. “Padahal standar kita adalah obat generik,” Anton beralasan.
Untuk mengantisipasi supaya perkara semacam ini tidak berulang, Reytman berharap agar perusahaan taat pada hukum. “Untuk jaminan kesehatan, perusahaan harus mengikutkan pekerjanya. Biar tidak pusing sendiri kalau ada kasus seperti ini.”
Seolah sudah mengerti saran Reytman, Anton menginformasikan bahwa sejak perkara Khotib ini timbul, perusahaan mengikutkan semua pekerjanya ke dalam program jaminan kesehatan dari sebuah perusahaan asuransi swasta. “Biar nggak repot lagi,” pungkasnya.

Tidak ada komentar: